Gubernur Banten Bersama Anggota DPD RI Prov.Banten

H. Andika Hazrumy, S.Sos dalam rangka Kegiatan Baksos Di Kab. Tangerang

Drs. H. Abdurachman dalam rangka kegiatan Komite I

H. ANDIKA HAZRUMY

Photobucket

Minggu, 05 September 2010

Eksistensi dan Pemberdayaan DPD RI


Dengan segala keterbatasan dalam kewenangan yang ada, DPD terus berupaya untuk eksis dan mengartikulasikan aspirasi daerah dengan sebaik-baiknya. DPD juga berupaya untuk mengambil inisiatif untuk terus mendorong ketatalaksanaan hubungan fungsi politik dengan DPR dan dengan Pemerintah atau dalam hal ini Presiden, ditandai dengan agenda politik DPD berupa konsultasi reguler dengan Presiden dan agenda Pidato Kenegaraan pada bulan Agustus setiap tahun, sejak tahun 2004, DPD telah menghasilkan produk-produk politik berupa 167 buah Keputusan DPD yang meliputi: Pengajuan usul RUU inisiatif dari DPD 11 buah RUU antara lain berkenaan dengan pemekaran daerah (Gorontalo), kepelabuhanan, dan lembaga keuangan mikro yang merupakan kepentingan bagi hampir semua daerah di Indonesia, dan kehutanan. Selain itu juga sudah dihasilkan Pandangan dan Pendapat DPD atas RUU tertentu yang berasal dari Pemerintah maupun DPR, yaitu sebanyak 84 buah; serta Pertimbangan DPD atas RUU bidang Pendidikan dan Agama yang berasal dari Pemerintah maupun DPR sebanyak 6 buah; serta Hasil Pengawasan DPD atas pelaksanaan UU tertentu sebanyak 41 buah; juga Pertimbangan DPD terhadap RUU yang berasal dari Pemerintah dan DPR terkait dengan anggaran yaitu sebanyak 25 buah.
Berbagai Prinsip Pemberdayaan DPD RI
Untuk meningkatkan efektivitas dan pemberdayaan DPD dalam sistem ketatanegaraan yang demokratis, ada beberapa prinsip yang kiranya perlu menjadi pegangan:
- Dalam bidang legislasi kedudukan DPD tidak perlu sepenuhnya setara atau sama luasnya dengan DPR.
- Kewenangan legislatif DPD cukup terbatas pada bidang-bidang yang sekarang sudah tercantum dalam UUD, dan itupun tetap bersama (share) dengan DPR (tidak mengambil alih).
- Kewenangan legislasi DPD tersebut dapat dirumuskan dengan berbagai cara, seperti yang telah berlaku di negara-negara lain, mulai dari hak menolak, mengembalikan ke DPR atau hanya menunda pelaksanaannya.
- Namun dalam hal kewenangan pengawasan (oversight) DPD harus memiliki kekuatan hukum yang sama dengan DPR, agar supaya pengawasan tersebut bisa efektif. Untuk menghindari terjadinya duplikasi dengan DPR dapat diatur pembagian kewenangan dan tanggung jawab pengawasan antara kedua lembaga tersebut. Misalnya, pengawasan DPD lebih terfokus di daerah dan DPR di pusat.
Pertanyaan selanjutnya sehubungan dengan apa yang berkembang dan apa yang menjadi faktor dasar pembatas ruang gerak politik DPD bagi rakyat banyak, terutama untuk daerah ialah, bagaimana DPD selanjutnya? Apakah dibiarkan seperti sekarang, ditiadakan atau diberdayakan secara lembaga sesuai harapan rakyat daerah?
Upaya Pemberdayaan DPD RI
Dengan mempertimbangkan harapan masyarakat di daerah yang amat besar terhadap DPD serta legitimasi politiknya yang tinggi, maka dalam rangka upaya untuk lebih memperkuat demokrasi di Indonesia, serta untuk memperkokoh penyelenggaraan otonomi daerah, telah tumbuh prakarsa untuk lebih memberdayakan peran (empowering) DPD, melalui amandemen ke-5 UUD 1945.
Pembentukan DPD tidak hanya agar daerah ada yang mewakili serta ikut mengelola kepentingan daerah di tingkat pusat, tetapi juga untuk meningkatkan peran daerah dalam penyelenggaraan negara. Kiprah DPD juga diarahkan untuk mengikutsertakan daerah dalam menentukan politik negara dan pengelolaan negara, sesuai ruang lingkup tugas fungsi DPD sebagai lembaga legislatif.
Indonesia merupakan negara besar dalam ukuran penduduk maupun luas wilayah. Dengan beragamnya kepentingan yang dilahirkan oleh sifat multi etnis dan multi kultur bangsa ini, diperlukan keterwakilan (representation) yang tidak hanya atas dasar jumlah penduduk, tetapi juga atas pertimbangan kewilayahan dan heterogenitas seisi wilayah dan kepentingannya, maka Indonesia membutuhkan sistem bikameral yang kuat.
Pada sisi pandang ini keberadaan fungsi legislasi secara bersama-sama merupakan pilihan terbaik bagi bangsa Indonesia dimana DPR dan DPD dapat saling mengisi dan memperkuat. Dapat kita lihat bahwa anggota DPR dipilih berdasarkan jumlah penduduk dan melalui partai-partai, maka anggota DPD dipilih berdasarkan keterwakilan daerah dan secara perseorangan. Kedua sistem ini bisa bersifat komplementer, saling mengisi, mengimbangi dan menjaga (checks and balances) antar lembaga perwakilan (legislatif).
Kehendak untuk mempertahankan kekuasaan yang sudah dimiliki kita pahami sebagai naluri alamiah, karena kekuasaan itu dianggap sebagai hak dan kenikmatan. Tetapi pandangan itu akan berubah apabila kekuasaaan dan kewenangan itu dilihat sebagai amanah dan berbagi kewenangan adalah hal wajar dan bagian dari sistem demokrasi. Demokrasi mencegah kewenangan yang berlebih, baik di tangan perseorangan atau pada sebuah kelompok kolektif. Sebenarnya disitulah terletak hakekat keberadaan DPD, yaitu untuk memperkuat demokrasi dan keadilan dalam sistem kenegaraan kita. Itulah sesungguhnya jiwa dari amandemen UUD 1945 yang telah melahirkan DPD.
Perubahan UUD hanya dimungkinkan jika dilakukan melalui persyaratan dan prosedur yang telah ditetapkan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 37 ayat (1) dan (2) UUD 1945 dinyatakan bahwa :
(1) Usul perubahan pasal-pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR.
(2) Setiap usul perubahan pasal-pasal UUD diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
Penutup
Perubahan konstitusi seharusnya membawa bangsa ini berjalan tegap ke depan. Semua pihak dituntut melangkah maju dan berpikir secara rasional dalam mencari jalan keluar bagi berbagai persoalan sistem ketatanegaraan di Indonesia. Dengan perubahan UUD 1945 Indonesia memasuki barisan negara-negara demokrasi yang menerapkan sistem bikameral dalam lembaga perwakilannya.
Upaya Amandemen lagi secara komprehensif terhadap Konstitusi Negara dengan penegasan tetap mempertahankan Pembukaan UUD 1945, mempertahankan Dasar Negara Pancasila, mempertahankan Pasal 29 UUD 1945, mempertahankan Bentuk Negara Kesatuan dengan mempertegas Sistem Bikameral dan Sistem Pemerintahan Presidensial merupakan bagian jalan keluar dalam mengatasi persoalan carut marutnya sistem ketatanegaraan nasional secara konstitusional.
Sistem bikameral yang efektif akan membuat kepentingan dan aspirasi daerah dapat terjembatani secara efektif dengan kebijakan di tingkat pusat. Pemberdayaan DPD bukan masalah perebutan kekuasaan atau kepentingan elit politik, tetapi adalah untuk memperkuat pelaksanaan demokrasi di Indonesia yang pada akhirnya bermuara pada kepentingan rakyat.
Dengan demikian pada hakekatnya amademen untuk mencapai konstruksi ketatalaksanaan dalam sistem ketatanegaraan melalui pemberdayaan DPD bagi kepentingan masyarakat daerah secara luas itu, merupakan prasyarat (pre-requisite).

Rabu, 01 September 2010

Tinjauan Singkat Sistem Bikameral


Sistem bikameral adalah wujud institusional dari lembaga perwakilan atau parlemen sebuah Negara yang terdiri atas dua kamar (Majelis). Majelis yang anggotanya dipilih dan mewakili rakyat yang berdasarkan jumlah penduduk secara generik disebut majelis pertama atau majelis rendah, dan dikenal juga sebagai House of Representatives. Majelis yang anggotanya dipilih atau diangkat dengan dasar lain (bukan jumlah penduduk), disebut sebagai majelis kedua atau majelis tinggi dan di sebagian besar negara disebut sebagai Senate. Kecuali dalam periode yang pendek pada masa RIS di tahun 1950, Indonesia selalu menganut sistem unikameral, maka posisi dan konsep keberadaan majelis kedua dalam sistem perwakilan tidak mudah dapat dicerna dan dipahami oleh masyarakat termasuk banyak para elit politik dan kaum intelektual di Indonesia.
Seperti pemilihan presiden langsung, juga Pilkada langsung, yang pada awalnya banyak yang menentang dan meragukan apakah cocok untuk diterapkan di Indonesia, demikian juga dengan DPD. Banyak yang mempertanyakan apakah lembaga perwakilan seperti DPD cocok untuk negara kesatuan seperti Indonesia, bukankah sistem seperti itu hanya cocok untuk negara federal? Ada juga yang merasa khawatir bahwa proses pembuatan undang-undang bisa menjadi terhambat kalau harus melibatkan dua lembaga perwakilan. Karena selama ini kita tidak menganut sistem bikameral tentu jawabannya tidak bisa kita peroleh dari pengalaman kita sendiri. Jawaban yang paling mendekati dan obyektif adalah dengan mempelajari bagaimana selama ini sistem itu diterapkan di negara-negara lain.
Sebagai referensi, kita dapat melihat hasil studi yang dirangkum oleh IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance). Diindikasikan bahwa dari 54 Negara yang dianggap sebagai negara demokrasi, sebanyak 32 negara memilih bikameral, sedangkan 22 negara memilih unikameral. Berarti di sebagian besar negara yang menganut paham demokrasi, sistem bikameral dianggap lebih cocok. Dari 32 negara yang memiliki sistem bikameral tersebut, 20 diantaranya adalah negara kesatuan. Maka berarti bahwa sistem bikameral tidak hanya berlaku di negara yang menganut paham federal. Negara demokrasi dengan jumlah penduduk besar umumnya memiliki dua majelis (kecuali Bangladesh). Semua negara demokrasi yang memiliki wilayah luas juga memiliki dua majelis (kecuali Mozambique).
Selanjutnya mari kita lihat pada spektrum negara-negara ASEAN. Tercatat dari 10 negara anggota ASEAN, diantaranya 7 negara menganut sistem demokrasi dan 3 negara (Brunei, Myanmar dan Vietnam) menganut paham yang berbeda. Dari 7 negara yang menganut sistem demokrasi tersebut, 5 negara menerapkan sistem parlemen bikameral, yaitu masing-masing Malaysia, Philipina, Kamboja,Thailand (sebelum kudeta militer), dan terakhir Indonesia. Sistem bikameralisme Indonesia memang mengalami perdebatan panjang selama proses sidang-sidang MPR lalu, namun fakta menunjukkan bahwa telah lahir lembaga legislatif kamar kedua di Indonesia yaitu DPD yang mengindikasikan bahwa Indonesia merupakan satu diantara lima negara dengan sistem bikameral tersebut.
Dalam “manajemen politik” seperti juga dalam bidang administrasi publik maupun bisnis, ada faktor rentang kendali yang perlu dipertimbangkan (span of control). Demikian pula dengan negara sebagai suatu unit manajemen negara, maka Indonesia sebagai negara demokrasi baru, yang besar penduduknya dan besar wilayahnya adalah yang terakhir memilih sistem bikameral.
Di sebagian besar negara para anggota mewakili negara bagian, provinsi atau wilayah perwakilan dengan jumlah yang sama. Di sebagian negara lagi jumlahnya proporsional terhadap jumlah penduduk, sedangkan di sebagian lainnya merupakan kombinasi dari kedua kriteria tersebut. Namun ada pula yang dipilih secara nasional (tidak mewakili daerah), atau diangkat atas dasar pertimbangan lain. Keanggotaan majelis tinggi dibatasi dalam periode tertentu, ada yang sama dengan periode DPR namun banyak pula yang berbeda.
Sistem bikameral juga mencerminkan prinsip checks and balances bukan hanya antar cabang-cabang kekuasaan negara (legislatif, eksekutif, yudikatif) tapi juga di dalam cabang legislatif itu sendiri. Dengan demikian maka sistem bikameral dapat lebih mencegah terjadinya tirani mayoritas maupun tirani minoritas (Patterson and Mughan: 1999).
Dilihat dari segi kewenangan yang dimiliki majelis tinggi, sistem bikameral pada umumnya dibagi dalam dua kategori: kuat dan lemah. Dalam hal majelis tinggi mempunyai kewenangan legislasi dan pengawasan yang sama atau hampir sama dengan majelis rendah, maka sistem bikameral di negara tersebut disebut kuat. Dan dalam hal kewenangan yang dimiliki tersebut kurang kuat, atau sama sekali tidak ada maka termasuk kelompok yang lemah. Dari 32 negara demokrasi yang menganut sistem bikameral, antara yang kuat dan yang lemah terbagi sama masing-masing 16 negara (belum termasuk Indonesia).
Pada umumnya, legitimasi dari majelis tinggi menentukan kuat lemahnya sistem bikameral di suatu negara. Legitimasi ditentukan oleh keterlibatan warga negara dalam pemilihan anggota majelis. Majelis yang langsung dipilih oleh rakyat mempunyai legitimasi yang tertinggi; makin tidak langsung, makin kurang legitimasinya. Ada hubungan sistemik antara tingkat legitimasi dengan kewenangan formal yang diberikan kepada majelis tinggi. Makin tinggi legitimasinya, makin kuat kewenangannya, contohnya seperti Amerika Serikat, Swiss, Italia Filipina (Mastias dan Grange:1987). Dengan konsep tersebut, maka Indonesia merupakan sebuah “anomali” karena dengan definisi legitimasi di atas, lembaga DPD mempunyai legitimasi yang sangat tinggi, yang seharusnya memiliki kewenangan formal yang tinggi pula, tetapi dalam kenyataan kewenangan formalnya sangat rendah. Dengan demikian bisa dilihat bahwa Indonesia merupakan satu-satunya negara dengan sistem bikameral yang anggota-anggotanya dipilih langsung, dan karenanya memiliki legitimasi tinggi, tetapi kewenangannya amat rendah.
Masalah yang seringkali ditampilkan sebagai penolakan terhadap sistem bikameral adalah efisiensi dalam proses legislasi; karena harus melalui dua kamar, maka banyak anggapan bahwa sistem bikameral akan mengganggu atau menghambat kelancaran pembuatan undang-undang. Sejak awal memang banyak yang sudah mempersoalkan manfaat yang dapat diperoleh dari adanya dua sistem seperti tersebut di atas dibanding dengan “ongkos yang harus dibayar” dalam bentuk kecepatan proses pembuatan undang-undang. Untuk itu negara-negara yang menganut sistem bikameral dengan caranya masing-masing telah berupaya untuk mengatasi masalah tersebut antara lain dengan membentuk conference committee untuk menyelesaikan perbedaan yang ada antara dua majelis tersebut, sehingga dewasa ini masalah tersebut tidak lagi menjadi faktor penghambat.

Blogger Themes

Set.Prov.Banten. Diberdayakan oleh Blogger.

Sample Links

Recent Comments

About Me

Foto saya
BANTEN, Indonesia
DPD RI DAERAH PEMILIHAN PROVINSI BANTEN PERIODE 2009-2014

Cari Blog Ini