Gubernur Banten Bersama Anggota DPD RI Prov.Banten

H. Andika Hazrumy, S.Sos dalam rangka Kegiatan Baksos Di Kab. Tangerang

Drs. H. Abdurachman dalam rangka kegiatan Komite I

H. ANDIKA HAZRUMY

Photobucket

Sabtu, 01 Agustus 2009

Berbagai Permasalahan Dalam Pelaksanaan UUD 1945 Hasil Amandemen


UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan hasil perubahan selama empat kali, masing-masing pada tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002 menjadi pedoman dalam penyelenggaraan negara. Pada pelaksanaannya ternyata UUD 1945 hasil amandemen dihadapkan pada berbagai masalah. Pandangan yang muncul ialah adanya sementara pihak menginginkan kembali ke UUD 1945 yang asli, atau sebelum diamandemen; dan ada pula pihak yang menghendaki penyempurnaan terhadap hasil amandemen UUD berdasarkan pengalaman dalam pelaksanaannya. Beberapa masalah yang menonjol diantaranya indikasi perlu dilakukan reposisi kekuasaan kehakiman (Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial); dan perlu pelurusan format sistem ketatanegaraan (MPR, DPR dan DPD serta MK dan MA), disamping juga peletakan sistem presidensial untuk menjadi lebih wajar (tidak menjadi dominasi DPR). Berbagai persoalan lain seperti hak Presiden untuk menyusun kabinet, pengangkatan pejabat-pejabat yang harus mendapat persetujuan DPR sampai pada proses persetujuan duta besar asing di Indonesia serta hal-hal lain juga muncul ke permukaan. Namun, pada kondisi sekarang, substansi pokok dalam usul amandemen kelima yang sudah mengemuka adalah mengenai struktur legislatif, untuk penegasan peran legislasi dan pengawasan DPD sebagai lembaga legislatif dalam sistem ketata-negaraan kita.
DPD Dalam Konstruksi Sistem Ketatanegaraan Indonesia
Sejarah politik dan kekuasaan di negara ini pada dasarnya berbasis pada kepentingan daerah (lokal). Hal ini ditandai dengan keberadaan dan sejarah kerajaan-kerajaan di banyak daerah di Indonesia, yang masing-masing memiliki otonomi bahkan kedaulatan sendiri-sendiri. Di masa sebelum kemerdekaan, eksistensi kekuasaan lokal yang independen satu sama lain itu sebagiannya telah menjadi kaki tangan kolonialisme, termasuk di dalamnya diperhadapkan satu sama lain dengan strategi devide et impera (politik pecah belah). Dalam kondisi seperti itulah, kalangan penjajah dengan begitu leluasa melakukan eksploitasi sumber daya manusia, sumber daya alam dan sumber daya lainnya dari bumi nusantara, di mana hasilnya diekstrasi ke luar untuk membangun negeri mereka, yang membuat mereka sekarang menjadi negara maju.
Para pendiri negara (founding fathers) sangat menyadari bahwa olah kuasa dan politik (power and political exercise) dalam bernegara harus selalu didasarkan pada prinsip dan eksistensi kebhinekaan berbasis daerah. Arah kebijakan negara haruslah ditetapkan berdasarkan prinsip-prinsip kedaulatan dan permusyawaratan dari elemen-elemen bangsa itu, yang dalam terminologi generiknya dikenal
dengan kata-kata demokrasi dan musyawarah. Karena disepakati sebagai negara yang berbentuk republik, maka yang berperan dalam proses-proses penentuan arah kehidupan berbangsa itu adalah para wakil dari elemen-elemen bangsa yang juga mewakili unsur-unsur daerah. Para anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dalam menyusun konstitusi mempersiapkan kemerdekaan Indonesia di tahun 1945 secara jelas menyadari kebhinekaan itu. Prof. Muhammad Yamin, dalam sidang BPUPKI menyatakan bahwa “permusyawaratan rakyat adalah wujud tertinggi kedaulatan rakyat, dan kedaulatan rakyat syaratnya adalah adanya wakil langsung rakyat dan daerah”.
Pemikiran Prof. Muhammad Yamin yang menggambarkan ruh konstitusi kita sangat sesuai dengan kondisi kebangsaan Indonesia dan kaidah-kaidah kehidupan masyarakat negara modern. Bangunan lembaga pemegang kedaulatan rakyat merupakan perpaduan antara wakil rakyat dan wakil daerah yang dipilih langsung oleh rakyat. Dalam sejarah politik Indonesia era kemerdekaan, perwujudan pemikiran itu telah berkembang dinamis dari periode ke periode, dan pada tahun 1998, dengan gerakan reformasi secara prinsip menemukan bentuknya yang mendasar dalam perubahan makna dan paradigma. Amandemen konstitusi yang sudah dilakukan sebanyak empat kali di mana tampaknya akan terus berproses dalam rangka penyempurnaan telah melahirkan sistem perwakilan dalam dua lembaga, yakni lembaga yang mewakili rakyat dan lembaga yang mewakili wilayah. Dalam konstitusi kita hasil amandemen bangunan kelembagaan yang berdaulat itu sangat jelas, yakni yang mewakili rakyat melalui partai-partai politik adalah lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang mewakili rakyat melalui entitas daerah atau wilayah adalah lembaga Dewan Perwakilan Daerah (DPD), yang anggota-anggotanya dipilih melalui jalur perseorangan.
Penataan kelembagaan negara melalui amandemen konstitusi ketiga yang kemudian melahirkan DPD tidak serta merta muncul jatuh dari langit. Karena kecuali ia merupakan pengejawantahan dari ruh yang menjiwai lahirnya UUD 1945 seperti yang sedikit digambarkan di atas, juga merupakan produk sosiologi-politik setelah melalui proses pergumulan panjang dalam sejarah hubungan pusat dan daerah di negeri ini, sebagai bagian dari tuntutan reformasi 1998. Sejumlah kondisi itu antara lain:
Pertama, Penyelenggaraan negara yang sentralistik yang berlangsung sejak era Orde Lama hingga Orde Baru telah secara signifikan menimbulkan akumulasi kekecewaan daerah terhadap pemerintah pusat, yang sekaligus merupakan indikasi kuat kegagalan pemerintahan pusat dalam mengelola daerah sebagai basis berdirinya bangsa ini. Maka, di awal reformasi semangat itu kemudian diwujudkan dalam sistem desentralisasi dan otonomi daerah, yaitu suatu pilihan politik dalam pengelolaan NKRI dimana daerah harus menjadi aktor sentral dalam pengelolaan republik ini. Keluarnya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah merupakan realisasi dari kebijakan desentralisasi itu, yang kemudian diperkuat dalam Perubahan Kedua UUD 1945 seperti tertuang pada BAB VI Pemerintahan Daerah Pasal 18, 18A, dan 18B.
Kedua, di masa Orde Baru dan di awal era reformasi (bahkan hingga sekarang) persepsi publik terhadap eksistensi dan perilaku partai politik (parpol) kurang sejalan dengan harapan publik, karena sistem kepartaian kita masih sangat sentralistik. Sistem seperti itu sudahlah pasti selalu menyulitkan perjuangan kepentingan daerah dalam proses-proses pengambilan kebijakan di tatar nasional, akibat dari kebijakan yang sentralistik yang secara alamiah berseberangan dengan aspirasi desentralistik.
Ketiga, kehadiran DPD merupakan produk dari refleksi kritis terhadap eksistensi utusan daerah dan utusan golongan yang mengisi formasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam sistem keterwakilan kita di era sebelum reformasi. Mekanisme pengangkatan dari utusan daerah dan utusan golongan bukan saja merefleksikan sebuah sistem yang tidak demokratis; melainkan juga mengaburkan sistem perwakilan yang seharusnya dibangun dalam tatanan kehidupan negara modern yang demokratis. Maka DPD lahir sebagai bagian dari upaya untuk memastikan bahwa wilayah atau daerah harus memiliki wakil untuk memperjuangkan kepentingannya secara utuh di tatar-nasional, yang sekaligus berfungsi menjaga keutuhan NKRI.
Keempat, kehadiran DPD mengandung makna bahwa sekarang ada lembaga yang mewakili kepentingan lintas golongan atau komunitas yang sarat dengan pemahaman akan budaya dan karakteristik daerah. Para wakil daerah bukanlah wakil dari suatu komunitas atau sekat komunitas di daerah (antara lain yang berbasis ideologi atau parpol), melainkan figur-figur yang bisa mewakili seluruh elemen yang ada di daerah. Dengan sendirinya, para wakil daerah baru bisa dikatakan “sungguh-sungguh berada di atas kepentingan golongan” apabila yang bersangkutan benar-benar memahami apa yang menjadi muatan daerah yang diwakilinya (komunitas berikut budaya dan ruhnya, geografisnya, kandungan buminya, dan sebagainya), dan sekaligus harus terbebas dari semua sekat ideologis. Kita semua tahu dan menyadari, apalagi di era kebebasan berorganisasi dan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi kita, bahwa parpol yang eksis di daerah umumnya merepresentasikan kepentingan menurut kebijakan parpol pada tingkat pusat atau dengan kata lain parpol masih berwatak sentralistik. Tepatnya, kalau seorang wakil daerah merupakan bagian dari komunitas yang primary group-nya berbasis parpol, maka sangat berpotensi (untuk tidak dikatakan pasti) mengabaikan kepentingan daerah yang diwakilinya apabila itu tidak sejalan dengan kepentingan partainya.
Pelajaran dari Dunia Internasional
Kita dapat belajar dari pengalaman negara-negara di dunia, dimana semangat dan fakta disintegrasi negara menjadi salah satu fenomena mondial yang terjadi pada dasawarsa 90-an. Cukup banyak negara yang pecah berkeping-keping dengan menimbulkan luka mendalam (sering disebut “Balkanisasi”). Tragedi itu tentu menjadi pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia dalam upaya menjaga keutuhan dan kesatuan bangsa dan negara yang menjadi amanat luhur para pendiri negara. Kecenderungan lain yang terjadi di berbagai belahan dunia sejalan dengan gejala demokratisasi, adalah meningkatnya desakan agar daerah-daerah diberi peran lebih besar dan berarti di tingkat nasional, terutama dalam merumuskan dan mengambil putusan tentang kebijakan nasional yang terkait dengan kepentingan dan urusan daerah.
Pelajaran dari Pengalaman Masa Lalu
Selama ini dan telah berlangsung puluhan tahun, kedudukan dan kekuasaan pemerintah pusat terhadap daerah sangat besar dan sangat menentukan. Berbagai urusan dan kepentingan daerah ditentukan oleh pusat tanpa cukup mendengarkan dan mengakomodasi aspirasi dan kepentingan daerah. Kemajemukan dan kebhinekaan bangsa kurang dihiraukan sehingga banyak masyarakat di daerah merasa terabaikan dalam kehidupan nasional serta banyak daerah bahkan merasakan ketidakadilan dalam pemanfaatan sumber daya alam yang bersumber dari daerahnya, termasuk dalam pembangunan infrastruktur fisik yang paling nyata dirasakan sangat kurang di berbagai daerah yang secara geografis berada jauh dari pusat pemerintahan nasional. Akibat dari itu memunculkan gerakan separatis di berbagai daerah seperti Aceh dan Papua; kurang berkembangnya demokrasi, baik di tingkat nasional maupun lokal; serta berkembangnya gerakan kekecewaan dan protes di daerah-daerah dan menurunnya semangat partisipasi masyarakat. Kemajuan daerah tidak sebanding dengan perolehan dana hasil eksploitasi sumber daya daerah dan terjadi disparitas antar wilayah, kesenjangan pusat dan daerah dan antardaerah yang cukup lebar.
Berdasarkan kondisi dan permasalahan itu pada akhirnya terbangun konsensus politik untuk memperkuat suara kedaerahan sehingga terjadi pembentukan DPD yang sejalan dengan tuntutan demokrasi guna memenuhi rasa keadilan masyarakat di daerah dan memperluas serta meningkatkan semangat dan kapasitas partisipasi daerah dalam kehidupan nasional. Pembentukan DPD ini dilakukan melalui perubahan ketiga UUD 1945 pada bulan November 2001 dan dengan demikian DPD adalah lembaga yang lahir sebagai produk reformasi untuk menyuarakan kepentingan daerah.
Kita dapat mengidentifikasi dasar pertimbangan pembentukan DPD menurut ciri politik sebagaimana yang telah menjadi konsensus politik bangsa kita, tetapi juga sesungguhnya dapat kita dalami dasar-dasar teoritis yang mendukung keberadaan lembaga DPD tersebut. Secara teoritis keberadaan DPD untuk membangun mekanisme kontrol dan keseimbangan (checks and balances) dalam lembaga legislatif itu sendiri, disamping antar cabang kekuasaan negara (legislatif, eksekutif, yudikatif). Disamping itu juga untuk menjamin dan menampung perwakilan daerah-daerah yang memadai untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah dalam lembaga legislatif. Secara politis, sesuai dengan konsensus politik bangsa Indonesia, maka keberadaan DPD akan memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah NKRI; semakin meneguhkan persatuan kebangsaan seluruh daerah-daerah; akan meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerah-daerah dalam perumusan kebijakan nasional serta mendorong percepatan demokrasi, pembangunan dan kemajuan daerah secara berkeadilan dan berkesinambungan.
Keberadaan DPD untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat (dan) daerah memiliki legitimasi yang kuat seperti halnya memberikan implikasi harapan yang kuat pula dari rakyat kepada lembaga DPD karena Anggota DPD secara perorangan dan secara langsung dipilih oleh rakyat, berbeda dari pemilihan Anggota DPR yang dipilih oleh rakyat melalui partai politik. Jelasnya, dapat dilihat dari sisi aspek keterwakilan dan dalam tata cara pemilihan Anggota DPR dan DPD tersebut seperti terlihat pada Gambar 2.
Keanggotaan DPD untuk pertama kalinya dipilih pada pemilu tahun 2004 yang lalu yaitu berjumlah 128 orang yang terdiri atas 4 orang dari 32 provinsi. Sulawesi Barat sebagai provinsi termuda belum terwakili. DPD dipimpin oleh seorang ketua dan dua orang wakil ketua yang mencerminkan wilayah barat, tengah, dan timur Indonesia. Pada pemilu 2009 lalu, keanggotaan DPD telah diwakili oleh 33 Provinsi dengan empat orang anggota di setiap provinsi sehingga jumlah anggota DPD akan berjumlah 132 orang pada masa keanggotaan 2009-2014.
DPD memiliki kekhasan karena anggotanya merupakan wakil-wakil daerah dari setiap provinsi. Tidak ada pengelompokan anggota (semacam fraksi di DPR), anggota DPD merupakan orang-orang independen yang bukan berasal dari partai politik atau politisi profesional tetapi berasal dari berbagai latar belakang misalnya sebagai pengacara, guru, ulama, pengusaha, tokoh Ormas atau LSM, serta ada beberapa anggota DPD yang mantan menteri, gubernur, bupati/walikota, dan lain-lain.
Sebagaimana lazimnya sebuah lembaga perwakilan, pembagian tugas dan kerja anggota DPD diatur dalam Peraturan Tata Tertib. Pembagian tugas di DPD tercermin dari alat-alat kelengkapan yang dimiliki, yakni: Empat Panitia Ad Hoc yang ruang lingkup tugasnya mencakup bidang legislasi, pertimbangan, dan pengawasan. Seluruh anggota, kecuali Pimpinan DPD, wajib bergabung ke dalam salah satu Panitia Ad Hoc.
Selain Panitia Ad Hoc, DPD memiliki alat kelengkapan yang secara fungsional mendukung pelaksanaan tugas DPD, yakni Badan Kehormatan yang bertugas menegakkan Peraturan Tata Tertib dan kode etik anggota DPD; Panitia Musyawarah yang bertugas menyusun agenda persidangan DPD; Panitia Perancang Undang-Undang yang bertugas merencanakan dan menyusun program legislasi DPD; Panitia Urusan Rumah Tangga yang bertugas membantu Pimpinan DPD dalam menentukan kebijakan kerumahtanggaan DPD; dan Panitia Kerja Sama Antar Lembaga Perwakilan yang bertugas membina, mengembangkan, dan meningkatkan hubungan persahabatan dan kerja sama antara DPD dengan lembaga negara sejenis, baik secara bilateral maupun multilateral.
Di samping alat kelengkapan tersebut, DPD membentuk Kelompok Anggota DPD di MPR yang bertugas mengkoordinasikan kegiatan Anggota DPD dan meningkatkan kemampuan kinerja DPD dalam lingkup sebagai Anggota MPR. Diawal pembentukannya Kelompok Anggota DPD telah berhasil menempatkan dua orang wakilnya untuk duduk sebagai Pimpinan MPR.
Kelahiran DPD telah membangkitkan harapan masyarakat daerah dimana kepentingan daerah dan masalah-masalah yang dihadapi daerah dapat diangkat dan diperjuangkan di tingkat nasional. Disamping itu kebijakan-kebijakan publik baik di tingkat nasional maupun daerah tidak akan merugikan dan akan dapat senantiasa sejalan dengan kepentingan daerah dan kepentingan rakyat di seluruh tanah air. Kepentingan daerah merupakan bagian yang serasi dari kepentingan nasional, dan kepentingan nasional secara serasi merangkum kepentingan daerah. Kepentingan daerah dan kepentingan nasional tidak bertentangan dan tidak dipertentangkan. Namun menjadi pertanyaan selanjutnya bahwa: Apakah harapan-harapan atas DPD RI tersebut dapat terwujud? Apakah ada keseimbangan antara harapan dan kemampuan yang dimiliki oleh DPD?
Sesuai dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, fungsi DPD berdasarkan Pasal 22D UUD 1945:
1) dapat mengajukan RUU tertentu (otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah);
2) ikut membahas RUU tertentu;
3) memberikan pertimbangan atas RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, agama, dan RAPBN;
4) memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota BPK (Pasal 23F ayat (1));
5) melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU tertentu, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya kepada DPR.

Dewan Perwakilan Daerah Dalam Perspektif Ketatanegaraan Indonesia


Proses transisi Indonesia menuju demokrasi adalah reformasi di bidang ketatanegaraan yang dijalankan melalui perubahan konstitusi Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Perubahan UUD 1945 bertujuan untuk mewujudkan konstitusi Indonesia yang memungkinkan terlaksananya penye-lenggaraan negara yang modern dan demokratis. Semangat perubahan konsti-tusi yang muncul berupa supremasi konstitusi, keharusan dan pentingnya pembatasan kekuasaan, pengaturan hubungan dan kekuasaan antarcabang kekuasaan negara secara lebih tegas, penguatan sistem checks and balances antarcabang kekuasaan, penguatan perlindungan dan penjaminan hak asasi manusia, penyelenggaraan otonomi daerah dan pengaturan hal-hal yang mendasar di berbagai bidang kehidupan masyarakat. Semua itu direfleksikan sebagai konsensus politik bangsa yang dituangkan dalam perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Tidak dapat dipungkiri bahwa munculnya desakan yang begitu kuat dari berbagai kalangan masyarakat untuk mengubah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), salah satu latar belakangnya adalah karena konstitusi ini kurang memenuhi aspirasi demokrasi, termasuk dalam meningkatkan kemampuan untuk mewadahi pluralisme dan mengelola konflik yang timbul karenanya. Lemahnya checks and balances antar-lembaga negara, antar-pusat dan daerah, maupun antar-negara dan masyarakat, mengakibatkan mudahnya muncul kekuasaan yang sentralistik, yang melahirkan ketidakadilan. Telah menjadi hal yang nyata bahwa sentralisme kekuasaan pemerintah di bawah UUD 1945 telah membawa implikasi munculnya ketidakpuasan yang berlarut-larut dan konflik di mana-mana. Konflik tersebut cukup mengakar, karena mengkombinasikan dua elemen yang kuat, yaitu faktor identitas berdasarkan perbedaan ras, agama, kultur, bahasa, daerah, dll., dengan pandangan ketidakadilan dalam distribusi sumber-sumber daya ekonomi, politik, dan sosial.
Oleh karenanya perubahan Undang-Undang Dasar juga telah “mengembalikan” kedaulatan ke tangan rakyat, yang selama ini diselenggarakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Ciri lain yang sangat penting juga ialah bahwa Presiden sekarang dipilih secara langsung oleh rakyat, tidak lagi oleh MPR. Lembaga MPR juga tidak lagi menjadi lembaga tertinggi tetapi hanya salah satu diantara lembaga-lembaga negara yang sejajar. Semangat dalam demokrasi memang tidak boleh mengindikasikan adanya lembaga yang memiliki kekuasaan tertinggi yang tidak terbatas seperti lembaga MPR diwaktu yang lalu.
Reformasi Sistem Ketatanegaraan Melalui Amandemen UUD 1945
Konsensus politik bangsa dalam perubahan sistem ketatanegaraan dapat dilihat dengan perbandingan struktur atau konstruksi kekuasaan di Indonesia saat sebelum dan sesudah perubahan UUD 1945. Sebelumnya, kita mengenal MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara sedangkan Presiden, DPR, DPA, MA dan BPK merupakan Lembaga Tinggi Negara dengan kedudukan yang sama sejajar berada dibawah MPR. Selanjutnya berdasarkan perubahan UUD Negara Republik Indonesia, “institusi” tertinggi ialah UUD 1945 itu sendiri (yang sebelumnya adalah MPR), sedangkan semua lembaga-lembaga yang merupakan lembaga negara dengan kedudukan yang sejajar. Lembaga-lembaga itu ialah lembaga legislatif terdiri dari DPR dan DPD yang seluruh anggotanya bersama-sama berada dalam lembaga MPR; serta lembaga eksekutif yaitu Presiden; serta Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif. BPK hadir sebagai lembaga pengawasan eksternal. Beberapa lembaga yang hadir berdasarkan perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga adalah Komisi Yudisial, suatu komisi pemilihan umum dan suatu bank sentral.

Catatan:
Beberapa lembaga yang disebutkan dalam UUD 1945
- Komisi Yudisial
- suatu komisi pemilihan umum
- suatu bank sentral
Gambar 1. Struktur Lembaga Negara Sebelum dan Sesudah Perubahan UUD 1945

Blogger Themes

Set.Prov.Banten. Diberdayakan oleh Blogger.

Sample Links

Recent Comments

About Me

Foto saya
BANTEN, Indonesia
DPD RI DAERAH PEMILIHAN PROVINSI BANTEN PERIODE 2009-2014

Cari Blog Ini